Tulisan ini diambil dari facebook page "Strawberry"
Selamat Jalan “The Champion”
Wajah tirus Hani dengan kepala tak
berambut sedikit bergerak. Mata cekung, dulu jenaka yang menyimpan
banya keceriaan dan keoptimistisan, kini ia memandangku dan mengerjap
dengan layu . Seakan-akan ada yang ingin diungkapkannya. Kuhampiri tubuh
yang lemah itu, dan kugenggam tangannya.
"Ada apa, Han..?"
Suara tilawah Al Quran Mama terhenti ketika menyadari ada sesuatu yang diminta Hani.
"Kenapa, sayang..? Ada yang sakit?." Tanya mama dengan suara parau.
Sudah sekian hari, Mama memang banyak menangis untuk Hani. Di tiap-tiap
malamnnya, Mama mengucurkan air mata, memohon kepada Allah, untuk mau
mendengar "bargaining" di dalam doa-doa Mama. Agar Allah mau mengulur
waktu untuk Hani sampai beberapa waktu saja. Mulut Hani bergerak-gerak,
kudekatkan telingaku pada wajahnya, agar dapat menangkap apa yang
diungkapkannya.
"Asy..ha..du alla..."
Tiba-tiba aku
menyadari "waktu itu" sudah dekat. Ku menoleh pada Mama, ia seperti
mengerti. Lalu Mama bergegas menuju pintu, memanggil Papa, dan Aria,
adik iparku. Dua orang laki-laki, yang akan kehilangan orang yang
dicintai itu, segera masuk dan menanti apa yang terjadi kemudian.
Kupakaikan kerudung putih pada kepala tanpa rambut yang melemah itu.
Kulakukan ini karena pesan terakhir Hani, jika "saatnya" tiba ia tidak
mau dalam keadaan "telanjang" menghadap Allah. Papa tampak ikhlash,
begitu juga Aria. Lalu Aria menyerahkan Umar, keponakanku yang belum
genap satu tahun usianya, kepadaku.
"Tolong, Mbak..Biar saya yang menjaga dik Hani."
Umar tetap tertidur pulas, walaupun posisi gendongan berpindah, dia
tidak terbangun sedikit pun. Bocah kecil sebelas bulan ini tak
menyadari, bahwa sebentar lagi, ibunya akan segera meninggalkannya.
Dokter Ruslan bergegas masuk untuk melakukan tugasnya sebagai dokter.
"Biarlah, dokter..Insya Allah Kami sudah ikhlash..". Suara tegar Papa berkata.
Dokter Ruslan mengangguk seraya berkata,
"Mudah-mudahan anak bapak diberi kemudahan oleh Allah.."
Perlahan-lahan, Aria membantu Hani membacakan syahadah di telinga Hani.
Kemudian mulut Hani bergerak-gerak dengan mudah. Dan genggaman
tangannya tampak mulai melemah. Ada butiran air mata yang bergulir dari
matanya yang terpejam.
"Sakitkah adikku, sayang?", batinku
dengan penglihatan kabur karena terhalang airmata. Aku menatap wajah
Hani yang sedang bertarung melepas nyawa.
Nafas Hani
satu-satu, jaraknya makin lama makin panjang. Papa dan Mama membaca
syahadah berkali-kali. Dan akhirnya nafas Hani pun terhenti...
"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun..."
*****
Hanifah, adikku, Hani begitulah dia dipanggil. Umurnya berbeda 4 tahun
dariku. Tapi Hani, perawakannya yang tinggi, lagaknya yang tomboy serta
rambutnya yang berpotongan pendek, membuat orang-orang sering salah
terka. Mereka mengira Hani, cowok, jika melihatnya sepintas dari
belakang. Aku teringat, teman-teman cowok sekampus meledekku ketika aku
mengajak Hani hadir ke Baksos Mesjid kampus.
Mereka, yang relatif tahu aku adalah " Si jilbab galak", meledekku,
"Wah kemajuan nih, Adelina...Ternyata berani juga mengajak cowoknya ke kampus.."
Mendengar itu aku geli, tapi tidak demikian dengan Hani.
"Siapa yang berani ganggu Mbak Adelina?". Tanya Hani berbalik sewot menghadapi teman-teman cowokku yang iseng tadi.
Seketika mereka terpana, menyaksikan bahwa "cowok" Adelina adalah cewek manis yang tak kalah galak dari kakaknya.
Itulah Hanifah. Siapa pun 5 tahun lalu, tak akan mengira dia akan
memakai jilbab. Hani menikah di usia muda, bahkan mempunyai anak.
Kami 3 bersaudara, Mas Ardi, aku, dan si bontot Hanifah. Karena
pendidikan orang tuaku yang demokratis dan bijaksana, kami bersaudara
sangat rukun dan saling sayang satu sama lain. Dan lebih dari itu, kami
saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika Mas Ardi harus kuliah di
Bandung, aku dan Hani menangis, karena kehilangan "bodyguard" yang
selalu mengantar kami kemana-mana. Hani memaksaku, agar tak ikut-ikutan
pilih universitas yang harus meninggalkan rumah seperti Mas Ardi.
Setiap pulang, Mas Ardi selalu membawa banyak perubahan. Tahun pertama
ketika aku SMA, Mas Ardi masih suka merokok di sela-sela menggambar
tugas arsiteknya. Namun setelah itu, Mas Ardi lambat laun menghilangkan
kebiasaan merokonya. Setiap pulang semesteran Mas Ardi banyak membawa
majalah-majalah dan buku-buku Islam. Mas Ardi mulai mengajak kami,
adik-adiknya, shalat berjamaah dan membaca Al Quran bersama di rumah.
Alhamdulillah, pada saat itu aku berhasil masuk FE UI, sehingga tak
perlu meninggalkan rumah seperti Mas Ardi. Setelah menjadi mahasiswi
juga mungkin imbas yang kuat dari Mas Ardi, aku mulai mengenal Islam.
Aku mulai mencari-cari untuk apa sebenarnya aku hidup. Dan,
Alhamdulillah, aku menemukannya dalam aktivitas keislaman yang aku ikuti
di kampus.
Namun yang aku heran, imbas tersebut tak mengenai
Hani sama sekali. Hani tetap saja tomboy, dan malas jika aku ajak pergi
ke pengajian. Walaupun demikian, Hani adalah adik kebanggaanku. Di
antara lagaknya yang tomboy dan sikapnya yang manja di rumah Hani adalah
juara kelas di sekolahnya, dan kapten di grup basketnya. Sifatnya yang
tak ingin kalah dari orang lain, dan serius ketika menekuni sesuatu,
membuat dia bisa menjadi sukses dalam bidang yang disenanginya, seperti
pelajaran atau basket.
Aku masih ingat, ketika untuk pertama
kalinya dia harus mendapat rangking ketiga di kelasnya. Hani menangis di
kamar seharian. Tapi, yang ini juga sifat Hani yang membanggakan, Hani
cepat bangkit dari keterpurukan. Dengan menyetel kaset grup Queen
idolanya, yang berisikan lagu we are the champion, Hani membangunkan
semangatnya sendiri, dan dia bisa ceria lagi keesokan harinya.
Hingga pada suatu hari, Hani menemukan hidayah itu... Di balik
kegagahan dan ketomboyannya, aku tahu ada sebongkah hati yang tulus dan
lembut. Dan itu terbukti ketika aku mengikutsertakan Hani ke kegiatan
baksos di kampus untuk ketiga kalinya. Kala itu dia kelas 3 SMA. Hani
masih tetap dengan rambut cepak, kaus t-shirt putih, dan celana jeans
hitam kebangsaannya. Di baksos itu kami memang mengumpulkan baju-baju
bekas untuk kaum tak punya. Hani memang punya banyak baju yang sudah tak
dipakainya. Tapi sayang, baju-bajunya selalu dikelompokkan untuk bocah
laki-laki.
Beberapa jilbab dan baju muslimah ku sisihkan khusus.
"Untuk siapa, Mbak..?" . Tanya Hani
"Ini untuk Mbok Siyem, yang jualan rokok di depan mesjid. Katanya anaknya yang SMP juga pakai jilbab.". Terangku
"Oooo.."Hani membundarkan mulutnya.
Baksos belum mulai ketika aku dan Hani tiba di depan mesjid kampus.
Karena masih ada waktu aku bergegas menemui Mbok Siyem yang selalu
mangkal di dekat masjid. Tapi aku terkejut ketika aku tak menemui Mbok
Siyem seperti biasa. Hanya Ijah, anaknya, yang menunggui warung.
"Lo, Mbok Siyem kemana..?"Tanyaku pada Ijah.
Ijah, bocah kecil kelas dua SMP itu, menjawab,"Mbok sedang sakit. Dari
kemarin muntah-muntah." Ijah tak tampak sedih, malah tampak biasa saja.
"Ini Mbak bawakan baju buat Ijah, kemarin-kemarin si Mbok wanti-wanti
meminta untuk membawakannya untukmu." Wajah Ijah yang tadi tampak
biasa-biasa saja, kini tampak haru. Ijah menangis.
"Mbok
bilang, kalau Ijah sabar dan ikhlash dengan dua baju, pasti Allah akan
memberikan lebih. Dan ternyata benar..." Katanya terisak, mengusap ingus
yang keluar dengan jilbab coklatnya, yang ku ingat adalah pemberianku
setahun lalu.
Setelah baksos selesai, kami menjenguk Mbok
Siyem, yang bukan kepalang terkejut dengan kedatangan kami. Waktu itu
Mbok Siyem kelihatan sehat, tak seperti orang sakit. Walau beberapa hari
setelah itu Mbok Siyem meninggal dunia..
Peristiwa itu
rupanya terpatri dalam di kalbu Hani. Sejak hari itu, Hani segera
memakai kerudung. Tak ada yang menyuruh,tak ada yang meminta. Sehingga
Mama melongo, melihat bontotnya menjadi feminin seketika. Lalu siapa
yang sangka Hani menjadi akhwat seperti sekarang? Dulu dia memang senang
basket, sampai poster Michael Jordan memenuhi tembok kamarnya. Dulu dia
memang senang Queen, sampai tak ada lagu-lagunya yang tak dihapalnya.
Tapi beberapa bulan setelah mengaji, Hani melepas semua poster-poster
tersebut, dan mendepak kaset-kaset lagu hingar bingar itu. Walau aku
tahu, Hani menangis semalaman untuk berpisah dengan segala hobi dan
kesenangannya. Tapi itulah Hani, esok selalu disambutnya dengan penuh
semangat menantang dan keoptimisan.
Dan perkembangannya yang
luar biasa setelah aktif mengaji, sering membuat aku dan Mas Ardi
terharu. Sampai puncaknya pernikahan Hani 4 tahun lalu...Papa marah,
Mama kesal, karena Hani dianggap mendahului aku dan Mas Ardi. Apalagi
Hani masih 19 tahun dan masih tingkat dua...! Namun Alhamdulillah berkat
diplomasiku dan Mas Ardi, bahwa kami rela didahului, akhirnya Hani
melangsungkan pernikahannya.
Hani, kehidupannya menggapai
hidayah seperti berlari. Bahkan ketika Allah menentukan dia harus
menderita leukimia di usia 21 tahun. Kegalauan keluarga kami untuk
memberitahukan Hani atau tidak, bahwa sakit-sakit tulang yang sering
Hani keluhkan bukanlah sakit biasa. Kesedihan kami yang luar biasa,
karena mengetahui Hani tak akan lama bersama kami lagi, mengingat dokter
sendiri berkata belum ada penyembuhan yang jitu untuk penyakit kanker
yang satu ini.
Sehingga akhirnya keluarga kami bertekad untuk
mengungkapkan secara jujur penyakit Hani. Ini pun karena ada sebab yang
luar biasa. Hani ternyata hamil 4 bulan waktu itu. Aria datang
memberitakan kabar gembira yang timingnya buruk itu kepada keluarga
kami. Kami tak tahu, apakah harus menyambut kabar ini dengan senang atau
bersedih. Karena melahirkan anak adalah hal yang tak mungkin bagi Hani,
karena akan memperlemah kondisi Hani. Namun, saat itu tak ada yang bisa
menyetop Hani. Bahkan ketika kami memberitahukan bahwa hamil dan
melahirkan kemungkinan besar akan mempertaruhkan nyawanya. Hani
bersikeras untuk hamil dan melahirkan.
"Mama juga waktu hamil
kami bertiga tak pernah memikirkan keselamatan nyawa Mama sendiri
bukan..? Ayolah, Ma.. Jangan larang Hani, tapi bantu Hani dengan doa,
agar Hani diberi kekuatan dan kesehatan oleh Allah. Dan jika harus
meninggal pun, Hani meninggal dalam keadaan syuhada bukan..? Tapi Ma,
Pa, Hani ingin hidup, paling tidak sampai anak ini lahir.."
Dan Allah memang Maha Besar dan Maha Pengasih. Semangat dan keoptimisan
Hani memberi bekas yang dalam kepada orang di sekelilingnya. Sejak
kehamilan Hani, Mama dan Papa menjadi lebih banyak beribadah. Mama
memakai jilbab, banyak membaca Al Quran. Begitu pula Papa, setiap Senin
dan Kamis tak ada yang terlewat dengan shaum, juga tahajud. Bahkan aku
pun menikah ketika Hani sedang rawat intensif di rumah sakit. Hani
selalu berkata, ingin melihatku
menjadi mempelai sebelum dia menutup mata.
Dan Allah menjawab semua doa-doa dan harapan kami. Hani dapat
melahirkan Umar dengan selamat, layaknya orang normal. Walau untuk itu
Hani menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah sakit, dan kami
selalu dibuat cemas akan keselamatan Hani sendiri.
Ya, dua
tahun Hani berperang melawan leukimia. Tapi tak pernah terungkap dalam
ucapannya, bahwa dia menyesali nasibnya karena harus menderita penyakit
ini. Bahkan dia kerap berujar,
"Allah sayang kepada Hani, ya, Mbak...Sehingga Allah memberi batas waktu
yang jelas untuk Hani beraktifitas di dunia ini. Agar tak sia-sia..."
Ah, Hani sayang....
**************
Pekuburan sudah sepi, gundukan tanah merah di depanku mulai dibasahi
oleh gerimis kecil yang turun satu-persatu. Kulihat isyarat lambaian
tangan Mas Ardi yang berada di rombongan Mama, Papa, serta keluarga Aria
mengajakku untuk pulang. Bang Irsyad, suamiku memberikan tangannya.
"Insya Allah Hani syahidah, De...Karena Hani begitu pasrah dan tawakal
kepada Allah dengan penyakitnya."Hiburnya. Aku mengangguk.
Di tanganku ada setumpuk amplop yang ditujukan pada Umar. Surat dari Ibunya. Aku teringat percakapan kami 5 bulanan lalu.
"Ini sebagai hadiah buat Umar setiap umurnya bertambah satu tahun,
Mbak... Aku persiapkan 15 surat, untuk Umar. Agar Umar selalu mendapat
nasehat dariku walaupun aku sudah tak bisa menyaksikan Umar tumbuh
sampai dia baligh dan mengerti. Aku titipkan pada Mbak Ade, ya..?". Hani
menyerahkan tumpukan amplop itu padaku.
"Kenapa tak kau titipkan pada Aria, bukankah dia yang lebih berhak...?" Hani
tersenyum.
"Mas Aria harus mencari pengganti Hani untuk mendidik Umar, bukan..?
Tentu tidak bijak kalau Mas Aria mengingat Hani terus, dan melupakan hal
yang satu itu". Katanya diluar dugaan. Lalu,
"Mbak..., aku
ingin Umar mempunyai sifat gabungan dari kita bertiga. Perhatian seperti
Mas Ardi, tegas dan lembut seperti Mbak Ade, enerjik dan jenaka seperti
ibunya..."
"Laa..Aria bagaimana, dong..?"tanyaku menahan geli...
"Iya ditambah ganteng dan shaleh seperti bapaknya.."tawanya jenaka.
Mataku kembali basah. Di detik-detik terakhir kehidupannya, Hani tak
pernah menampakkan keputus asaan. Dia tetap optimis, bahwa Allah
memberikannya penyakit sebagai ujian, maka dia harus lulus, dan
bertawakal untuk jadi pemenangnya. Ya...Juara itu telah pergi, Syuhadah
itu telah pergi, pergi tanpa beban dan tanpa keputus asaan. Pergi
meninggalkan sebongkah kesan dan bekas cinta yang mendalam.
Selamat jalan the champion...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar